[IN]SOMNIA, chapter 1


[IN] SOMNIA -- Part 1

Rey

“Masih belum bisa tidur juga, Sayang?”
“Belum,” Jawabku dengan suara berat. Mataku melirik jam dinding berwarna biru dengan tatapan benci. Sudah jam tiga pagi dan mataku belum bisa terpejam juga. “Mungkin sebaiknya aku lanjut bekerja saja ya.”
“Kamu mau bekerja sampai bagaimana lagi? Semua kerjaanmu kan sudah kamu selesaikan kemarin. Kamu sudah coba merilekskan badan?”
“Sudah Sayang, aku sudah melakukan semua tips-tips yang kamu berikan. Mulai dari berendam air hangat, minum susu, baca buku, hingga mendengarkan musik klasik. Tapi satu pun tidak ada yang manjur.” Aku mendesah. “Mungkin satu-satunya jalan adalah dengan mengonsumsi obat tidur.”
What? No, Rey! Kamu tidak boleh mengonsumsi obat-obatan itu!” Sera memekik panik di seberang sana. Gadis itu tidak pernah setuju bila aku memutuskan untuk mengonsumsi obat-obatan. Apapun. Bahkan parasetamol dosis rendah pun akan membuatnya menggerutu sepanjang hari, seolah dosis 500 mg sanggup untuk membuatku overdosis.

Seandainya ia tahu, dosis empat kali lipat dari itu pun tidak akan membuatku overdosis.
Ya, aku tahu karena aku telah mencobanya.

“Tapi Sera, ini sudah hari keempat aku tidak tidur. Dan badanku mulai protes karena kelelahan,” ujarku memberi argumen.
Sera menghela napas. “Begini saja Rey, aku akan hubungi temanku yang bekerja sebagai psikolog untuk membantumu mengatasi masalahmu.”
“Err… mungkin aku lebih butuh psikiater, Ser? Haha…”
It’s not even funny, Rey. Aku benar-benar khawatir sama kamu.” Kata Sera. “Maaf ya aku tidak bisa ada di sisimu saat ini…”
It’s okay Sera. Nanti setelah masa dinasmu selesai kan kamu bisa ada di sisiku setiap hari…”
“Iya, tiga bulan lagi sampai aku resmi menjadi Nyonya Reinhart Artadinata.” Aku bisa merasakan Sera tersenyum senang di seberang sana. “Aku tidak sabar.”
Aku tersenyum simpul, berusaha melawan letih yang menumpuk ini. “Kamu apa kabar di sana? Bagaimana kondisi Swiss sekarang?”
“Dingin seperti biasa. Bagaimana dengan Jakarta?”
Aku terkekeh. “Panas, seperti biasa. Dan Jakarta tanpa kamu membuatku kesepian di tengah keramaian.”
***

Secercah sinar matahari masuk ke dalam jendela kamarku. Aku menggeliat dan melirik jam di layar ponselku. Akhirnya aku tertidur, meskipun hanya satu jam. Suara Sera yang sibuk mengobrolkan detail pesta pernikahan kami sukses membuatku mengantuk, meskipun badanku tetap lelah.
Jam menunjukkan pukul 9 pagi, aku resmi kesiangan untuk datang ke kantor. Untung saja semua pekerjaanku sudah kuselesaikan sejak dua hari yang lalu, jadi rasanya hari ini tidak apa-apa untuk mengambil cuti. Kulirik lagi notification di layar ponselku, ada satu pesan singkat dari Sera yang bertuliskan kontak seorang psikolog.

Aku mencibir. Siapa yang mau pergi ke psikolog ketika aku sendiri tidak tahu masalahku apa?
Kepalaku terasa pusing kembali, namun ketika aku mencoba untuk kembali memejamkan mata, aku tersadar sepenuhnya. Bahkan aku mampu membedakan irama jam dinding di kamar setiap detiknya. Dan percayalah, hal itu sangat menyebalkan.

Pada akhirnya aku bangkit dari kasurku dan bersiap-siap untuk mampir ke kafe langgananku untuk segelas cappuccino hangat sebelum membuat janji dengan psikolog siapapun namanya itu. Kalau kamu berpikir aku gila karena masih mengonsumsi kafein…. Ya aku memang gila.
Aku tidak bisa tidur, namun tidak bisa berpikir jernih meskipun 300% berada dalam kondisi sadar. Percaya padaku, terjaga selama lebih dari 96 jam cukup membuatmu nyaris gila sampai tidak bisa berpikir jernih lagi.

“Selamat siang Pak Reinhart, pesanan yang biasa?” sapa Mark, barista yang mulai part time di café ini sejak tiga bulan yang lalu.
Aku mengangguk dan tersenyum lemah. “Ekstra sandwich untuk sarapan saya.”
Mark mengangkat alis seolah mempertanyakan sarapan mana yang dimulai jam 12 siang, namun alih-alih bertanya, ia hanya tersenyum. “Sandwich untuk brunch, segera tersedia untuk Bapak.”
Aku melirik sofa di pojok ruangan—yang biasa aku tempati—dan berharap untuk dapat menikmati ‘sarapan’ tanpa gangguan dari siapapun. Namun tak seperti biasanya, kini sesosok gadis tengah menempati posisi favoritku hingga aku terpaksa menelan kecewa dan mencari tempat duduk lain di sekitar sofa itu. Dan alih-alih menikmati kopinya, ia justru terlelap pulas di atas sofa. Kepalanya bersandar ke arah dinding dan rambutnya yang hitam panjang terurai acak-acakan, menutupi sebagian besar wajahnya.


Tunggu sebentar…
Dia tidur?
Orang normal tidak tidur di café kan?

Entah mengapa aku merasa iri kepadanya yang bisa tidur pulas tanpa peduli tempat. Kurasakan emosi bergejolak dalam diriku, dan entahlah setan mana yang merasukiku, aku pun bangkit dari kursiku dan mengguncang tubuhnya keras.

“Hei, kalau kamu hanya datang ke café ini untuk tidur, lebih baik kamu pulang saja sana! Sofa ini tempat favoritku sejak dulu tahu…” bentakku seraya mengguncang tubuh mungilnya.
Gadis itu tersadar dari tidurnya, dan perlahan mata kuyunya itu menatapku. Tampak jelas bahwa kesadarannya belum terkumpul penuh.
“Apa?”

Dan detik itulah yang mengawali perkenalan kami.
***

Comments