A Cup of Tea: Midnight Monologue



Story #1 Everlasting Unrequited Love

Secangkir teh hangat menemaniku di malam hari ini. Mengenangmu.
Uapnya mengepul dan menghangatkan wajahku, sementara hangatnya perlahan menjalari tanganku.
Perlahan, perlahan, merasuk ke dalam hati.

Malam ini aku teringat akan dirimu. Ya, setelah lima tahun berlalu sejak akhir perjumpaan kita.
Aku masih ingat saat kita masih kanak-kanak, belum mengerti kerasnya dunia orang dewasa, lugu dan tulus menjalin persahabatan. Masih membekas pula di benakku ketika pertama kali kita mengenal cinta. Cinta yang disebut-sebut sebagai cinta monyet menurut definisi orang dewasa. Saat itu kita begitu takut merusak persahabatan kita dengan perasaan aneh yang bersemi dalam dada. Lalu meski perih, engkau dan aku memutuskan untuk tetap mempertahankan persahabatan kita.

Waktu silih berganti. Aku dan kamu menjadi individu dewasa. Kita berjumpa kembali dalam suatu kesempatan.
Kamu telah menjadi tampan, suaramu telah berubah, begitu pula tinggi badanmu. Namun dalam sosok gagah di hadapanku itu, aku tahu masih ada yang tersisa dari masa kanak-kanakmu. Senyummu, ketulusanmu, kebiasaanmu, lesung pipi di sudut kanan, tatapan teduh matamu.
Kenangan kita.
Perasaan kita. Persahabatan kita.

Aku menyesap perlahan secangkir tehku. Hangatnya perlahan menjalar ke kerongkongan. Manisnya terasa di lidah, namun diakhiri rasa getir di setelah beberapa saat. Sama seperti setiap kali perjumpaan kita.
Aku tahu kita tidak bisa sering bertemu. Setiap perjumpaan kita adalah sekejap waktu untuk saling melepas rindu dan bertukar kabar. Terkadang, mengenalkan pendamping hidup pada saat itu. Memang terasa menyenangkan, namun entah mengapa dadaku sedikit terasa sesak setelahnya.

Hei, tolong beritahu aku, apakah kau mengalami gejala yang sama denganku pada setiap perjumpaan kita?

Tiba-tiba aku merasa sendu.
Aku rindu, rindu dengan masa kecil kita yang tidak serumit ini.
Setelah delapan belas tahun persahabatan kita, setelah sebuah undangan pernikahan datang, aku baru menyadari bahwa ternyata perasaanku padamu tidak berhenti hanya sebagai sahabat. Ternyata aku mencintaimu sejak dulu. Sebuah cinta yang tak terbalas.
Aku terlalu takut untuk menumbuhkan rasa ini dan merusak apa yang telah ada.

Maafkan aku yang pengecut ini, Sahabat.

Namun, seandainya, seandainya dulu aku dan kamu berani mengambil resiko itu.
Apakah aku dan kamu sekarang dapat saling memiliki?

Titik-titik hangat kurasakan membasahi pelupuk mataku dan perlahan, jatuh mengalir ke pipi. Tangis ini pun menjadi-jadi.
Tangis penyesalan. Tangis kerinduan.
Tangis kebahagiaan.

Selamat berbahagia kawan, aku turut bahagia karena sebentar lagi dirimu akan menemukan pendamping hidupmu yang setia. Begitu pula denganku. Aku akan berbahagia juga, kawan.

Aku melirik cincin emas putih yang melingkar di jari manis kiriku. Seketika merasa berdosa dengan Mas-ku yang mencintaiku dengan sepenuh hatinya.

Kuteguk sisa teh di cangkir hingga habis. Teh penghabisan yang kini telah mendingin, namun hangatnya masih sedikit terasa. Cukup untuk menghangatkan hatiku dan menenangkan diriku.
Aku menghapus sisa-sisa air mataku dan mencoba tersenyum.

Mungkin selamanya engkau tidak akan tahu mengenai perasaan ini. Namun tidak apa-apa Sahabat, karena aku dan kamu, kita sama-sama tahu, kasih sayang antara sahabat kan abadi selamanya.

Secangkir teh hangat yang menemaniku malam ini, telah mampu mengobati rinduku.
***



Author’s note:
Beberapa malam yang lalu saya tidak bisa tidur meskipun malam semakin larut. Waktu tengah malam merupakan waktu yang mendukung orang-orang untuk merenung, tentang apa saja. Tentang masa lalu, masa kini, bahkan masa depan. Tentang orang-orang yang dikasihi, tentang orang-orang yang telah meninggalkan, tentang keputusan-keputusan yang mungkin bisa diubah di masa lalu, tentang kesalahan yang dilakukan. Khayalan-khayalan nisbi. Segalanya.
Dan mungkin, renungan larut malam didominasi oleh penyesalan dan rasa tidak berdaya. Entahlah.
Renungan saya malam itu menghasilkan khayalan mengenai seorang gadis yang diam-diam mengasihi sahabat lamanya, dan baru menyadari bahwa hingga kini ia masih menyimpan harapan yang agak tidak mungkin karena baik sang gadis dan sang lelaki—sahabatnya—sama-sama tidak mau mengambil resiko untuk menjalin hubungan cinta. Kisah cinta mereka semakin tidak mungkin karena keduanya memutuskan untuk menemukan cinta yang lain dan menikah dengan pasangan mereka masing-masing. Cerita ini ditulis dari sudut pandang sang gadis yang pada suatu malam, bernostalgia mengenai kisah cinta tak terbalasnya dengan sang sahabat. Layaknya orang yang tengah mengenang, ada kalanya pertanyaan retoris “bila seandainya (what if)…” pun terlontar.
Ada dua kisah lain yang saya pikirkan dengan tema yang sama, yaitu midnight monologue. Kisah-kisah tersebut sebenarnya ingin saya rangkum dalam sebuah film pendek. Dalam kisah pertama ini, saya sebenarnya ingin menyorot tokoh lelaki juga untuk mendapatkan kisah yang lengkap. Namun semua terhalang kendala pemain. Siapa yang mau sukarela memerankan dua tokoh ini ya? Haha.

Comments