Satu Tahun Dari Sekarang.

Jadi ceritanya kemarin saya pergi ke bandara untuk mengantar teman saya yang pergi ke Melbourne untuk melanjutkan studinya. Dia lebih muda satu bulan dari saya, masuk kuliah lebih cepat satu tahun dari saya, dan skripsinya udah kelar entah berapa tahun lebih cepat dari saya.
Teman saya ini--namanya Diaz--sudah menyelesaikan skripsi S1nya dan sudah sidang, lalu sekarang ke Melbourne untuk penelitian LAGI dan skripsi LAGI lalu seminar plus sidang LAGI sampai akhirnya dia akan mendapat gelar bachelor of medical science alias gelar sarjana kedokteran tingkat internasional. Asem betul.

Dengan jarak satu tahun tanpa kontak, saya udah ditinggalkan sebegitu jauhnya. Juni tahun depan, ketika dia akan pulang kembali ke Indonesia, gelarnya sudah akan jadi mahasiswa koasistensi. Saya? Apa itu tugas akhir? *pura-pura amnesia*

Saya lalu beralih pada teman-teman yang lain. Di tahun keempat kami ini, makin banyak teman-teman saya yang mulai kelihatan sibuk dengan tugas akhirnya. Ada yang sudah mulai nyusun, ada yang masih pre-TA, ada yang lagi magang, ada yang udah nunggu waktu buat lulus dan kawin (oke ini lebay), dan yang lebih parah, ada yang baru nyadar kalau dia nggak cocok sama jurusan yang dia ambil. Hadeuhh....

Tanpa sadar, mungkin kalau setahun atau dua tahun lagi kami mengadakan reuni, teman-teman saya nyaris sebagian besar sudah bekerja. Saya akan melihat sosok mereka yang sama sekali berbeda dengan yang dulu saya kenal. Yang dulu masih lari-larian main polisi-maling, yang dulu bolos bareng-bareng dan dihukum guru bareng, yang dulu jadi cinta monyet, yang dulu suka saya kata-katain bego tapi sekarang jeniusnya dewa banget....
Sebentar lagi kami semua akan dewasa. Atau bahasa kasarnya, udah tua.

Dan bayangan ini, jujur saja, sedikit banyak menakutkan bagi saya. Saya nggak mau jadi orang terakhir yang lulus. Saya mau jadi salah satu dari mereka yang lulus cepat.
Saya mau buat Ibu Ligaya, Dokter Riki, Dokter Gunanti, dan orangtua saya tersenyum bangga. Masalahnya nggak sesimpel itu.

Saat ini saya sedang dalam pelarian. Pelarian dari kesadaran harus menghadap dosen pembimbing tugas akhir. Pelarian dari segala kepenatan harus mengerjakan tugas. Tapi sekali lagi, saya "ditampar" oleh teman saya yang sudah menyelesaikan skripsinya itu.

"Gue aja butuh 6 bulan untuk mengumpulkan niat," katanya waktu itu. Waktu itu kami lagi di mobilnya, dalam perjalanan pulang setelah menonton The Amazing Spiderman. Dan radio busuk langsung memutar lagu-lagu galau. Pada kondisi ini saya sudah putus asa. Apa iya saya harus semedi dulu 6 bulan baru menghadap dosen?
"Tapi untuk nulis proposal, gue cuma butuh satu hari. 20 jam." lanjutnya lagi. Di posisi ini saya udah pengen jedotin kepala ke tembok.

Lalu ketika saya cerita kalau data penelitian saya belum lengkap dan proposal belum ditulis. Reaksinya adalah, "Gimana mau penelitian kalau proposalnya belum jadi? Ah, itu nggak sistematis." dan "Kalau di FK, ketika data penelitiannya ga lengkap dan udah lewat 6 bulan, lo akan diminta keluar dari penelitian atau departemen dan palingan cuma disuruh nulis laporan."

JLEB!

Tiba-tiba saya teringat kalau kelinci penelitian saya udah dijual. Lalu saya berasa mau minum es baygon campur cola.

Down banget? Iya.
Tapi kata-kata teman saya itu membuat saya sadar, kalau penelitian ini nggak bisa ditunda-tunda lagi. Saya nggak boleh kabur selamanya, masa iya setiap lewat Lab Bedah saya harus menyamar jadi dinding?

Jadi sekarang saya akan melarikan diri ke Karimunjawa lalu magang. Puas-puaskan yang namanya kabur. Lalu saya akan kembali dan menghadap dosen pembimbing dengan data yang alakadarnya itu. Konsultasi.

Kemudian, satu tahun dari sekarang, insya Allah saya bisa menjemput teman saya itu dan berkata, "Hey, sekarang kita sama-sama sudah koas."
***

Comments

Post a Comment