Once Upon A Love, ada Dia yang terlihat Sempurna

Oke, saat ini saya sedang mencoba mengetik data-data penelitian yang semrawut dan tidak layak dibaca mata manusia normal saking berantakannya ini, dan tiba-tiba saya teringat tiga buah novel yang minggu lalu dipinjamkan oleh Feby. Novel-novel ini baru saja saya selesaikan beberapa hari yang lalu. Dan berikut sedikit resensi dan komentar dari saya. *laridarikenyataan* *sayatidakmaumulaimengerjakantugasakhir*
 

Once Upon A Love

Novel ini berkisah tentang tiga orang manusia yang bertemu dalam sebuah forum menulis. Lolita, sang pemeran utama yang teraniaya cinta, dikisahkan telah merilis novel terbarunya dan menuliskan nama Ferio di halaman depan sebagai persembahan dan bukti cintanya kepada laki-laki itu. Ferio sendiri adalah moderator di forum menulis yang dulu diikuti oleh Lolita, dan kerapkali menegur Lolita yang saat itu masih pemula di dalam forum. Akan tetapi semenjak Lolita tahu bahwa Ferio juga menyukai novel-novel karya Agatha Christie, pandangannya terhadap Ferio berubah. Terlebih ketika Ferio mulai memberi masukan mengenai tulisan-tulisannya. Lambat laun, Lolita mulai jatuh cinta pada Ferio, meskipun ia belum pernah bertemu dengannya. Terkadang Lolita, sebagaimana perempuan lainnya, merasa kegeeran dengan sikap Ferio yang seolah memberi harapan. Padahal, Ferio jatuh cinta setengah mati dengan Dru, sahabatnya yang juga aktif dalam forum menulis tersebut. Ya, sedih sekali, Lolita jatuh cinta pada imajinasinya sendiri. Di matanya hanya ada dia dan Ferio, sementara dalam dunia Ferio, Lolita bukanlah pemeran utama. Baginya, Lolita hanyalah anggota forum yang memiliki potensi sebagai penulis. Hubungan Ferio dan Dru sendiri sempat hancur karena pertengkaran mereka berdua saat Ferio kehilangan kedua orangtuanya. Dru yang sakit hati akhirnya meninggalkan Ferio dan memutuskan pergi bekerja di luar pulau.

Ferio yang masih mencari-cari Dru selama beberapa tahun terakhir, akhirnya memutuskan untuk menghubungi Lolita dengan harapan dapat bertemu dengan Dru. Ferio berpikir, karena Lolita juga menuliskan nama Dru di dalam novelnya, gadis itu pasti pernah bertemu dengan Dru baru-baru ini.

Novel ini bersetting di Bogor. Gambarannya akan kampus IPB (Darmaga dan Baranangsiang) cukup detil, bahkan gambaran mengenai kemacetan dan suasana khas Bara juga sangat mendetail. Hal ini menurut saya justru menjadi kekurangan dalam novel ini. Deskripsi mengenai tempat dalam novel ini terlalu mendetail, sehingga pembaca diharuskan mengikuti deskripsi sang penulis. Saya sebagai pembaca merasa hak berimajinasi saya dicabut. Okelah, saya mahasiswa IPB, saya untuk sementara ini berdomisili di Bogor, jadi saya kurang lebih tahu tempat-tempat yang dideskripsikan di dalam novel ini. Bagaimana dengan pembaca lainnya yang tidak tahu seluk beluk kampus IPB? Mana mereka tahu apa itu auditorium Thoyib? Mana mereka tahu bagaimana bentuk Bara?
Untuk setting waktu, novel ini menggunakan timeline yang maju-mundur. Terkadang pembaca dibawa mundur untuk flashback sejenak, namun tidak ada deskripsi waktu yang jelas kapan peristiwa itu terjadi. Pembaca harus jeli memperhatikan ada tanda rewind di sudut kanan atas untuk melambangkan peristiwa flashback.

Tokoh Lolita sendiri sukses membuat saya gemas. Rasanya kalau saya bisa ketemu Lolita di Faperta, saya akan menjambak rambut panjangnya, tampar-tampar pisang, lalu bilang "woy sadar, lo lagi ngebegoin diri lo sendiri atas nama cinta" pfft. Gregetan. Lolita memandang Ferio sebagai cowok kaya yang dingin dan terkadang memberikan dia harapan. Lalu Lolita pun berusaha menarik hati Ferio dengan hartanya. Dipinjemin mobil, ditraktir makan, diajak ke talkshow bukunya. She did everything to please him. Dia bahkan nggak peduli, atau malah berusaha menutup mata pada hubungan Ferio dan Dru. Wow, sedikit banyak Lolita mengingatkan saya pada seseorang. #nomention
Pada kenyataannya, Lolita nggak tahu apa-apa tentang Ferio. Lolita tidak tahu kalau Ferio sudah kehilangan kedua orangtuanya dan kini harus hidup pas-pasan sebagai pegawai negeri. Ferio bukan lagi cowok kaya seperti dulu. Lolita juga tidak tahu--tidak mau tahu--bahwa Ferio dan Dru saling mencintai, meski terhalang oleh perbedaan agama. Iya, Lolita adalah tokoh yang sangat egois dan terlalu buta oleh imajinasi yang dia sebut "cinta" itu. Tokoh seperti ini sukses bikin saya pengen bikin penataran untuk cewek-cewek seperti dia.
Cerita ditutup dengan Ferio yang memberikan jawaban atas pernyataan cinta Lolita dalam buku novelnya: "You better move on."

Saat itu saya langsung nari tor-tor dan tumpengan. Pesta tujuh hari tujuh malam. #dijambaklolita


Dia

Dulu saya sempat mau membeli novel ini, tapi gara-gara ngintip endingnya yang menggantung, akhirnya saya batal membeli dan berakhir hanya numpang foto alay sambil memegang buku berjudul "Kau" dan "Dia" dan berpose muka melas galau. Sumpah alay abis. #khilaf

Novel ini bercerita tentang Denia yang harus pergi ke Jakarta dengan Tante Rika untuk menghadiri acara pertunangan Janu, saudara jauhnya, dengan Sasa, kekasihnya. Denia ini diam-diam jatuh cinta pada Janu, karena itu datang ke acara pertunangannya tentu saja bagaikan acara bunuh diri. Dalam perjalanan dari Surabaya menuju Jakarta, Denia bertemu dengan Saka, seorang cowok yang kurang lebih sebaya dengannya dan punya berbagai sifat jelek yang bikin Denia pengen nguyah beling: dingin, cuek, ketus, nggak mau ngalah.

Tanpa disadari, mereka berdua bertemu lagi setelah acara pertunangan Janu dan Sasa berlangsung. Saka menaruh perhatian kepada Denia karena ia melihat hasil jepretan Abe, saudaranya yang menjadi fotografer untuk pertunangan Janu-Sasa. Di foto hasil jepretan Abe, terlihat Denia yang memandang Janu sambil menahan tangis. This, I can picture it perfectly in my mind.
Saka merasa bahwa Denia sama sepertinya, mencintai seseorang yang tak tergapai oleh mereka. Denia mencintai Janu, 'kakak'-nya yang telah bertunangan, dan Saka mencintai Rara, kekasihnya yang telah meninggal dunia. Saka pun jadi gemas dan selalu saja mendesak Denia untuk mengakui perasaannya kepada Janu. Denia tentu saja tidak mau urusannya dicampuri oleh Saka. Lucunya, karena Denia selalu mengomel dengan penuh emosi pada Saka, Denia selalu jadi pikun di dekatnya. Entah helm, entah sandal, Denia selalu melupakan hal-hal kecil tersebut dan akhirnya ia harus menanggung malu. Saka sendiri tidak pernah mengingatkan Denia secara gamblang sehingga membuat Denia selalu berasumsi sendiri.
Lucunya lagi, karena Saka pernah menawarkan Denia untuk pacaran dengannya demi melupakan Janu, suatu hari Denia nekat menelepon Saka dan setuju untuk pacaran dengannya. Hal ini ia lakukan demi melengkapi proses "DeJanufikasi" setelah dilabrak habis-habisan oleh Sasa yang menuduh Denia merusak pertunangannya dengan Janu. Sayangnya, saat Denia menelepon Saka untuk mengajak jadian, yang mengangkat telepon adalah Galih, adik Saka, yang masih SD. Dan sialnya, Denia langsung menutup telepon tanpa menunggu jawaban orang yang diteleponnya. Hasilnya, Denia menunggu Saka balas menghubunginya selama tiga bulan tanpa hasil karena ternyata Saka sedang berada di luar negeri saat itu. Tentu saja Saka tidak tahu menahu tentang telepon Denia.
Overall, cerita dengan tema seperti ini mungkin sudah sangat banyak diangkat. Namun gaya bercerita Nonier yang mengalir dan deskripsinya tentang karakter tokoh-tokoh dalam novel ini yang kuat menjadi daya tarik tersendiri untuk saya. Kisah cinta "menggantung" antara Denia dan Saka juga memberikan kesempatan bagi pembaca untuk berimajinasi mengenai lanjutan kisah mereka. Buat saya pribadi, saya selalu gregetan dengan apa-apa yang menggantung. Jadi ending novel ini sukses bikin saya gelindingan di lantai karena belum puas dengan ceritanya. Tapi novel ini bisa sedikit banyak memuaskan dahaga saya yang suka sekali membayangkan sebuah novel menjadi sebuah film. Ya, novel ini movie-material sekali. Cocok untuk diangkat ke dalam layar lebar--dengan sedikit perubahan ending supaya tidak menggantung. Kasihan remaja kita sekarang bukan, yang saat ini disuguhi oleh kisah cinta erotis paha-dada Dewi Persik/Julia Perez dengan hantu-hantu lokal. #prihatin
Satu lagi yang membuat saya suka dengan novel ini adalah settingnya yang mengambil tempat di Jawa. Sebagai orang Jawa, saya jarang peduli dengan tempat-tempat pelosok (baca: di luar Jogja) #jahat Jadi membaca novel ini membuat saya seolah bepergian ke tempat-tempat itu. :)
Dan tokoh yang paling saya sukai dalam novel ini adalah......... Galih. <3 Bocah ini terlihat cerdas untuk anak seusianya, tapi tidak kehilangan image polosnya. Bocah ini juga memiliki satu kesamaan dengan saya: pecinta ubi.

Sempurna

Novel ini dikarang oleh penulis yang sama dengan novel "Dia", yaitu Nonier.
Kisahnya diawali oleh Awang yang disuruh neneknya untuk membujuk Watik, seorang gadis berusia 18 tahun, yang terancam dinikahi oleh Nandar, suami dari saudara jauh Awang. Watik bekerja sebagai pembantu di Jakarta, tepatnya di rumah Kejora. Watik sendiri sempat curhat kepada Kejora, majikannya yang berusia beberapa tahun di atasnya, kalau ia tidak mau menikah dengan Nandar namun orangtuanya memaksanya karena mereka banyak berhutang budi kepada Nandar. Kejora yang juga berhutang budi kepada Watik, memutuskan untuk melindungi Watik dari pernikahan paksa tersebut. Hal ini dia wujudkan dengan berkali-kali melarang Awang yang mengaku sebagai pacar Watik untuk bertemu dengan pembantunya itu. Kejora mengira bahwa Awang adalah Nandar, sehingga berulang kali ia larikan Watik agar tidak bertemu dengan Awang. Sialnya, suatu saat, Watik benar-benar kabur. Giliran Kejora yang panik, ia lalu meminta bantuan Awang untuk mencari Watik. Petualangan mereka dalam mencari Watik berlanjut hingga akhirnya menuju Blora, kampung Awang dan Watik. Sementara itu, Awang terus menerus diikuti bayang-bayang Nanda, mantan kekasihnya yang kini berharap dapat kembali kepadanya. Dulu Awang sempat nekat mengajak Nanda untuk lari dari pernikahannya dengan Hariman, suami Nanda. Namun Nanda menolak karena hubungannya dengan Awang tidak direstui oleh orang tuanya. Semata karena Awang tidak tahu siapa ayah biologisnya. Sayangnya pernikahan Nanda tidak bahagia, ia mengalami kekerasan rumah tangga dan berharap mendapatkan perlindungan dan cinta yang dulu dari Awang. Namun Awang bersikeras pada pendiriannya, tidak mau kembali kepada apa yang telah lalu. Alih-alih, ia malah jatuh cinta pada Kejora yang awalnya dia "amit-amit"in mati-matian. Karma itu ada. Hohoho. #parno
Kejora sendiri mulai terombang-ambing perasaannya karena perkataan Awang: "Apa kamu mau kalau sekarang aku memintamu jadi pacarku?" sementara bertahun-tahun ia menunggu pernyataan itu dari Dimas, kekasihnya yang selama ini terus menggantung hubungan mereka (baca: hubungan tanpa status). Berkali-kali Kejora nyanyi lagu mau dibawa kemana hubungan kita, berkali-kali juga Dimas berlagak pilon. Dalem.
Akhirnya Kejora dan Awang tidak juga bersatu, namun hubungan Kejora dan Dimas berakhir saat Dimas tahu bahwa Kejora berpindah ke lain hati. Nyeseknya nggak ketolong. Cerita ini ditutup ketika Awang dan Kejora masing-masing berencana untuk menghadiri pernikahan Watik dengan Joko, pacar Watik, di Blora. Keduanya sama-sama berharap untuk dapat saling bertemu, meskipun mereka pun tidak yakin apakah mereka akan benar-benar bertemu. Awang dan Kejora semata hanya bergantung pada perasaan masih mencintai, karena itu mereka berani berharap meskipun kisah mereka telah berakhir dua tahun yang lalu. #apasih

Karakter yang sukses bikin saya termehek-mehek adalah....Awang. Iya, saya suka banget sama tipe cowok yang kaya gini. Suka bikin gila, maksudnya. Awang digambarkan sebagai cowok yang berpendirian teguh, judes dan jahat sama Kejora kalau gadis itu sudah mulai menyinggung-nyinggung soal Nanda, workaholic, sayang dan patuh pada keluarga, dan setia. Awang masih mencintai Nanda, meskipun perempuan itu pergi meninggalkannya dan menikah dengan pria lain. Bertahun-tahun dihabiskan Awang dengan insomnia dan akhirnya menjadi workaholic--karena tidak bisa tidur. Namun Awang tetap berpegang teguh pada pendiriannya, bahwa kisahnya dengan Nanda telah usai. Tidak bisa kembali seperti dulu. Sifat ini yang membuat saya kagum dengannya. Jahatnya juga tidak tanggung-tanggung. Ia berani meninggalkan Kejora di tengah pelosok yang asing baginya di malam hari, hujan-hujan pula. Terbayang kalau saya menjadi Kejora, mungkin saya sudah mengubur diri di tengah sawah lalu mati pelan-pelan. Minimal pasti nangis macam anak hilang. Atau gila. Lalu lari entah kemana. *imajinasi berlebihan*

Dan di balik sosok tegaan Awang, pria ini sebenarnya sangat lembut dan perhatian. In his very own way.
Membaca novel ini di tengah mati lampu (berbekal senter redup) sukses bikin mata saya sakit. Tapi puas. Puas karena endingnya nggak sebegitu menggantung seperti "Dia", puas karena pada akhirnya saya tahu kalau Awang dan Kejora saling mencintai. Puas karena akhirnya si Watik ketahuan juga di mana rimbanya. Dan akhirnya, saya gelindingan lagi karena gregetan sama Awang-Kejora-Dimas. Lalu tidur. Stress karena listrik mati padahal keesokan harinya ada ujian praktikum patologi klinik.


Dan tanpa terasa, sudah 2 jam saya habiskan hanya untuk mengetik tulisan ini. Dua jam pula saya menelantarkan pekerjaan saya. Bagaimana nasib data 14 ekor kelinci lainnya yang belum diketik? Hanya Tuhan yang tahu. #lalumenjadigila
 

Comments

Post a Comment