Insomnia atau Takut Gelap?

Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah hasil penelitian di salah satu situs online medis. Disebutkan di sana, beberapa orang dewasa dengan insomnia punya kemungkinan bahwa sebenarnya mereka takut akan kegelapan, hal ini ditunjukkan dengan sebuah studi di antara mahasiswa. Para peneliti menemukan bahwa lebih banyak pelajar yang memiliki kebiasaan tidur jelek (poor sleeper) dilaporkan takut akan gelap, dan kemudian penemuan ini dipastikan menggunakan metode pengukuran obyektif terhadap rasa gelisah dalam kondisi gelap dan terang.
Sebuah phobia yang berkaitan dengan kegelapan akan membawa kegelisahan dan kondisi sadar/bangun ketika seseorang mematikan cahaya saat waktu tidur, sehingga membawa masalah tidur. Begitulah penemuan itu mengatakan.

Kepala investigator, Collen Carney, PhD, dari Ryerson University Sleep & Depression Laboratory di Toronto, Canada, mengatakan bahwa hal ini dapat menjadi suatu pencerahan jika mereka dapat menemukan phobia ini dalam lingkup orang dewasa dengan insomnia.
"Artinya, kita harus mulai memperkirakan untuk sebuah phobia pada orang-orang yang kurang tidur, yang mana kita tidak lakukan untuk saat ini. Hal baiknya, kita dapat mengatasi rasa takut akan gelap dengan terapi eksposur sistematik yang dapat dilakukan di klinik manapun." kata beliau.

Telah diketahui sejak lama bahwa kegelisahan sangat berkaitan dengan insomnia. Para insomniac dilaporkan menderita lebih banyak stress, lebih sering khawatir, dan seringkali menderita kelainan kegelisahan. Dikatakan oleh Dr. Carney, para pasien yang menderita insomnia menunjukkan gejala-gejala takut akan kegelapan. Seperti misalnya, mereka tidur dengan lampu, komputer, atau TV yang menyala. Kejadian lainnya yang sering terjadi adalah mereka tertidur di sofa, lalu mereka naik dan pergi ke kasur mereka, mematikan lampu. Namun begitu saklar dimatikan, mereka akan terjaga sepenuhnya.
Sebanyak 93 mahasiswa (76% wanita dengan usia rata-rata 22 tahun) diminta untuk mengisi Insomnia Severity Index, yang mengelompokkan mereka sebagai "good sleeper" atau "poor sleeper" dan juga kuesioner tentang rasa takut akan gelap. Hasilnya, nyaris separuh dari seluruh pasien mengakui bahwa mereka takut gelap. Dan lebih banyak orang yang kurang tidur atau punya kualitas tidur buruk (46%) mengakui bahwa mereka takut akan kegelapan, dibanding orang-orang yang cukup tidur (26%).
Tim peneliti juga mempelajari rasa takut akan kegelapan dengan memperhatikan respon kedipan mata. Hasilnya, poor sleeper berkedip lebih banyak dalam kegelapan dan lebih sering terkejut. Kedipan mata adalah sesuatu yang tidak bisa kita kontrol dan merupakan respon normal saat seseorang terkejut. Para peneliti memperdengarkan suara-suara bising dengan headset ketika sedang berada di dalam kamar, baik dalam kondisi terang maupun gelap. Suara yang diperdengarkan hanya merupakan suara yang kecil, bukan suara gaduh, namun cukup untuk membuat terkejut jika seseorang dalam kondisi tegang.
Poor sleeper lebih mudah terkejut. Mereka akan berkedip segera setelah suara muncul dan akan menjadi lebih dan lebih takut seiring berjalannya eksperimen dalam kegelapan. Namun ketika eksperimen tersebut dilakukan dalam kondisi terang, tidak ditemukan kondisi terkejut seperti itu. Ketika kondisi menjadi gelap kembali, mereka akan semakin gelisah seiring berjalannya waktu. Kondisi ini seharusnya tidak terjadi kecuali seseorang memiliki phobia.
Orang-orang yang memiliki kualitas tidur baik atau good sleeper akan berkurang rasa takutnya dalam kegelapan seiring berjalannya waktu dan menjadi terbiasa.

Sumber: (Medscape.com, dari SLEEP 2012: Associated Professional Sleep Societies 26th Annual Meeting, Abstract #0666. Dipresentasikan pada 11 Juni 2012 oleh Dr. Belleville)


Membaca abstrak hasil penelitian di atas, saya jadi sadar bahwa ternyata saya takut gelap. Entah sejak kapan, saya selalu tidur dengan lampu menyala. Mungkin karena faktor malas mematikan lampu, atau karena takut kesiangan, saya jarang sekali tidur dengan lampu padam. Padahal dikatakan di beberapa artikel, tidur dengan lampu menyala akan menghambat metabolisme dan memicu kanker. Nah lho.
Mungkin ini sebabnya saya benci sekali mati lampu. Seperti yang disebutkan di atas, orang-orang seperti saya sangat sensitif terhadap kegelapan. Kalau mati lampu dan saya melihat bayangan-bayangan entah apa, pasti saya sudah mikir negatif. Terlebih kalau ada suara langkah kaki atau apapun. Makanya setiap mati lampu di rumah, saya pasti secepat mungkin pergi ke tempat yang banyak orang. Ogah banget mati lampu sendirian. Sayangnya kalau di kost-an, saya terpaksa sendiri. Karena itu pasti saya lebih memilih tidur.

Beberapa hari yang lalu juga saya mencoba untuk tidur dalam kondisi gelap. Saya mematikan lampu, laptop (yang biasanya selalu menyala sampai pagi), dan lalu mengatur posisi tidur.
Hasilnya, saya tidak bisa tidur sampai jam 4.30 pagi. Saya mencoba menyalakan lampu kamar mandi supaya tidak terlalu gelap, menyalakan musik di handphone agar tidak terlalu sepi, bahkan merubah posisi tidur supaya lebih nyaman, dan hasilnya mata saya benar-benar tidak bisa diajak terpejam. Otak saya terjaga, dan sialnya, otak saya mulai memproduksi gambar-gambar penampakan yang divisualisasikan ke mata. Makin tidak bisa tidurlah saya. Otak biadab ini juga memproduksi suara-suara "ilusi" yang seolah berbisik ke dalam telinga saya dan memanggil nama saya dengan pelan, namun cukup bagi saya untuk merinding disko. Sesuai dengan ilustrasi "suara bising" dalam penelitian di atas.


Akibatnya, tiga hari berturut-turut saya selalu tidur pagi. Saya baru bisa merasa rileks ketika jam menunjukkan pukul empat pagi. Itu pun  ternyata, terkadang saya masih membuka mata dan menatap kosong. Berada dalam kondisi setengah sadar--saya kira saya sudah tidur tapi ternyata belum. Efeknya, akhir-akhir ini saya tidak bisa membedakan yang mana yang nyata dan yang mana yang bukan. Akibat insomnia ini (dan mungkin pengaruh banyak pikiran juga), mimpi saya selalu berkisah tentang kegiatan sehari-hari. Seolah seharian saya di kampus tidak cukup untuk menjalani hidup, dalam alam mimpi pun saya dipaksa berinteraksi dengan orang-orang sekitar. Akibatnya lagi, akan banyak sekali kejadian de ja vu yang menanti saya di masa yang akan datang. Ya, saya sering sekali sudah mengalami kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa yang akan datang dalam mimpi. Jadi ketika nanti kejadian itu benar-benar saya alami, yang ada hanya perasaan sudah pernah mengalami.

Karena itu juga, kepala saya sering sakit akhir-akhir ini. Belajar pun jadi tidak maksimal. Semuanya seperti sebuah lingkaran yang tidak ada akhirnya. :(

-- ditulis dalam kondisi masih menderita disorientasi waktu tidur dan sakit kepala.

Comments