Memories of Tuxedo







Kali ini saya mau membahas tentang salah satu kucing saya, Tuxedo. Dari pola bulunya, sudah ketahuan dong yang mana yang namanya Tuxedo? Tuxe adalah kucing jantan yang di sebelah kiri. Mama yang menamainya seperti itu karena corak bulunya menyerupai Tuxedo. Saya sendiri memanggilnya Shibe--singkatan dari Siberian Husky, karena warna bulunya mirip Husky (okelah, saya memang tidak mampu memelihara anjing!)

Tuxedo sendiri adalah kucing yang sangat manja, cengeng, bandel namun kocak. Hari pertama ia tinggal di Bogor, dia "menangis" karena tidak ada lagi ibunya, dan ia berada di tempat yang asing. Lucunya, kemudian ia tidur dengan ditemani kedua saudara betinanya, Hime dan Abby. Bahkan cara memakai kotak pasir pun harus diajari oleh kedua saudaranya.

Tuxe juga terkadang sangat malas, sampai-sampai dia lupa menyandarkan kepalanya di kasur saat ia tidur. Alhasil, ia tidur dengan kepala terangkat. :)))
Bocah ini juga sok jago, pernah dia lari keluar kamar sekuat tenaga. Ekspresinya penuh kemenangan karena saat saya kejar, dia berhasil menghindar. Tapi begitu saya menutup pintu, giliran dia yang mengais-ngais pintu sambil "menangis" minta dibukakan pintu. :))



Saat ini, Tuxedo sudah tiada. Bocah kecil ini sudah beristirahat dengan damai di dalam tanah, di belakang kandang anjing FKH IPB. Tuxe tiba-tiba terserang FIP tipe basah. Waktu itu saya lengah, saya tidak berani ambil resiko untuk pergi membawa Tuxe ke RSH di tengah malam. Padahal malam itu, Tuxedo demam hingga 40C, muntah-muntah dan diare.
Segalanya berlalu dengan begitu cepat. Ketika keesokan harinya saya membawa Tuxe ke RSH untuk ditangani, semuanya sudah terlambat. Infus dan asupan pakan recovery tidak sanggup menanggulangi tingkat dehidrasinya yang sudah terlalu parah.
Ya, saya mengakui bahwa saat itu saya tidak tahu bahwa kucing peka terhadap muntah dan diare.
Saat dibawa ke rumah sakit, suhunya sudah semakin menurun hingga mencapai 34C. Namun yang membuat saya kagum, ia masih terus berjuang untuk makan meskipun terlihat jelas di wajahnya bahwa ia tidak ingin makan. Sedih rasanya melihat Tuxedo yang tidak lagi gagah, justru terlihat kuyu dan kurus serta terlihat depresi.

Saya ingat, saat itu saya sengaja izin mata kuliah Mikrobiologi Medis I karena menunggui Tuxe di ruang periksa. Namun, saat saya tinggal dia untuk kuliah Farmakologi I, Tuxe pergi untuk selama-lamanya.
Ini hal yang saya sesali. Saya tidak ada di sampingnya saat ia menghembuskan napas terakhir.

Kenapa hal ini selalu terjadi pada saya? Kenapa saya selalu tidak bisa mendampingi orang/hewan yang saya sayangi saat mereka sedang berjuang melawan maut? Bukan hanya Tuxedo, tapi juga ketika kakek dan nenek saya meninggal dunia pun, saya tidak bisa berada di sana.

Sedih. Kesal. Kecewa.
Itu yang saya rasakan.


Saya ingat, saat itu saya berniat untuk menjenguk Tuxedo di ruang perawatan dan saya menemukan kaki depannya mulai kaku, dan tak ada reaksi yang ditunjukkannya. Saya panik dan berusaha mencari dokter.

Tidak ada dokter jaga di sana saat itu. Yang ada hanya serombongan murid SD yang sedang studi wisata ke rumah sakit hewan.
Kalut, saya dan Atika pun memutuskan untuk menunggu di ruang tunggu. Dan hebatnya, saya melihat salah satu staf rumah sakit yang menemani murid-murid SD itu berkeliling dan menghampiri kamar perawatan Tuxe dan berkata "Ini adalah kucing yang sedang dirawat karena menderita FIP."

Lalu bocah-bocah itu mengangguk seolah paham. Dan saya murka di luar. Kucing saya yang entah sudah mati atau masih sekarat itu dijadikan obyek studi tour dan tidak ada dokter yang bisa dimintai keterangan saat itu. Saya marah. Saya kalut. Saya butuh kepastian.

Tak berapa lama kemudian, Dokter Dani yang merawat Tuxe pun datang. Beliau berkata, bahwa Tuxe sudah mati beberapa saat yang lalu. Infus, makanan dan vitamin tidak bisa menolongnya. Si kecil sudah berusaha hingga titik maksimalnya.

Saya paham bahwa memang dari awal prognosanya sudah infausta. Tapi entah mengapa, saat itu tetap saja saya tidak bisa menghentikan tetesan air mata yang mengalir deras setiap saya memikirkan Tuxe. Sebenarnya saya malu, menangis di depan Dokter Dani dan Mas Bian, paramedis RSH.

Akhirnya Tuxedo dikuburkan di wilayah kandang belakang kampus. 1 Desember 2011, saya tidak bisa lupa tanggal itu.

Saya bingung harus bilang apa sama Abby, yang tadi terlihat ribut saat saya mau membawa Tuxe ke rumah sakit. Bagaimana saya bisa bilang kalau kini hanya tinggal dia kucing di kost-an, jangan mencari Tuxedo lagi karena ia sudah mati.
Malamnya, saya bilang ke Abby: "Abby, Tuxe mati. Tuxe sudah pergi."

Saya membayangkan Abby akan kebingungan mencari Tuxedo yang tadi pagi masih dilihatnya, karena selama ini mereka berdua selalu bersama-sama ke mana pun mereka pergi. Terutama semenjak Hime diadopsi oleh teman saya.

Tapi reaksi yang Abby tunjukkan justru berbeda dengan ekspektasi saya. Abby justru menjilati wajah saya, terutama ketika saya kembali menangisi Tuxedo (iya, saya memang sentimentil). Semalaman penuh, Abby ada di sisi saya untuk menghibur saya dengan cara seekor kucing bisa menghibur.

Terharulah saya.
Karena itu saya sempat menuangkan cerita tentang Tuxedo dan Abby ke dalam sebuah kisah fiksi, yang sayangnya terhenti karena saya belum bisa mendapatkan referensi jenis penyakit serupa pada manusia.

Daya imajinasi saya mungkin berlebihan. Tapi saya benar-benar menyayangi Tuxedo seperti anak saya sendiri. Rest in peace, Tuxedo. We love you. :')




Comments