You Were My Friend



“Kania, kita akan selalu jadi sahabat kan?”
Kania menatap lekat sosok gadis berambut panjang di hadapannya. Gadis itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Senyumannya polos dan bahagia, tulus namun terkesan sedikit munafik di mata Kania. Naif, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkannya.
“Ya. Jika waktu tidak memisahkan kita.” ucap Kania pada akhirnya. Ia menjabat tangan Retha, sahabatnya, dan mengucek pelan rambut di ubun-ubunnya. “Baik-baik ya sama Galih.”
“Thanks Nia,” Retha memeluk erat sahabatnya itu. “You are my best friend. Forever.”
“Tha,” Kania tersenyum samar. Takut akan kenyataan yang akan tidak sesuai, takut akan kata ‘selamanya’. “Nggak ada yang abadi. Dan kita nggak tahu apa yang akan terjadi di masa depan.”
“Apapun yang terjadi, gue nggak akan ninggalin lo. Janji.” Retha mengangguk mantap. “Bahkan untuk Galih.”
Kania hanya bisa tertawa, mempertanyakan kesungguhan perkataan Retha dalam hati. “Mana tahu nanti lo sibuk sama Galih, terus lupa sama gue.”
“Lo ngomong apaan sih, Nia? Galih kan sahabat lo juga.”

He used to. Batin Kania.

“Iya, iya. Gue becanda doang kok Tha…” Kania mencubit pipi Retha yang sedikit tembam. Kalau dipikir-pikir, Retha memang jauh lebih baik dari dirinya.
Ia manis. Ia cantik. Ia ramah.
Retha suka menunjukkan kepeduliannya kepada semua orang, tidak seperti Kania yang cenderung kaku.
Retha sangat senang menunjukkan rasa cintanya kepada orang yang ia cintai, tidak seperti Kania yang cenderung menyimpannya seorang diri.
Retha sangat ceplas-ceplos dan periang, ia bisa membuat atmosfer ruangan menjadi ceria seketika, jauh berbeda dengan Kania yang pendiam dan cenderung menjaga jarak dengan orang lain.

Karena itu Kania tidak heran—tidak pernah heran—jika kemudian Galih memilih Retha dibanding dirinya. Ia tidak akan heran ketika Retha yang baru mengenal Galih, langsung akrab dengannya. Ia tidak pernah heran ketika hubungan mereka berakhir tanpa ada kata putus terucap, mereka sama-sama tahu bahwa mereka lebih baik tidak bersama lagi. Ia juga sudah paham dari awal, bahwa sahabat barunya, Retha, tertarik pada mantan kekasihnya sejak awal perjumpaan mereka. Kania tahu itu. Dan ia tidak keberatan apabila Galih juga tertarik dengan Retha. Siapa sih yang tidak menyukai Retha?

Yang Kania tidak sadari, cepat atau lambat, ia akan kehilangan mereka berdua.
Dua orang yang sangat ia sayangi.

“Nia, tetap jadi teman gue ya.” Bisik Retha pelan sambil tersenyum.
Kania hanya bisa mengangguk.

“You were my friend and it just happened
Time when by and we just lost traction
You were my friend, you were my friend
You got your buddies and I got mine
We’re different people we’re in different times
You were my friend, you were my friend”

Enam bulan sudah.
Retha masih menjadi Retha yang dulu, mungkin, setidaknya di pandangan orang-orang. Kania masih menjadi Kania yang dulu, dan Galih…. Ia tidak tahu.
Ia jarang berbicara dengan Galih. Hal terakhir yang diucapkan Galih padanya hanyalah “Apa kabar?” dan Kania hanya bisa membalas dengan sekedar ucapan “Baik-baik saja.” dan seulas senyum yang dipaksakan.
Enam bulan sudah.
Dan Kania masih belum bisa melupakan bahwa dulu, ia pernah mempunyai sahabat yang selalu ada untuknya, yang kini waktunya tersita untuk kekasihnya. Ia merasa kehilangan Galih, karena lelaki itu dulunya adalah sahabatnya—penguatnya kala lemah dan kini, persahabatan mereka tidak bisa seperti dulu.

Tiga bulan pertama, mereka masih sering pergi bersama-sama bertiga. Kania, Retha, dan Galih.
Lalu perlahan, Kania merasa seperti pengganggu; ia merasa seperti orang yang salah tempat ketika Galih mulai berceloteh tentang kejadian-kejadian lucu yang pernah terjadi antara mereka berdua kepada Retha; tempat-tempat yang dulu pernah mereka datangi; dan Retha hanya tertawa dan mengajak kami berdua pergi ke tempat-tempat tersebut untuk sekedar menghabiskan waktu.

Mungkin akan lebih baik rasanya jika Retha merasa cemburu, lalu menampar Kania tepat di pipi. Namun gadis itu—gadis manis itu—justru merasa senang ketika Galih menceritakan segala sesuatu tentang dirinya. Saat itulah, Kania memutuskan bahwa mungkin lebih baik memberikan waktu untuk mereka berdua, supaya mereka bisa memulai sesuatu yang baru. Tanpa dirinya.
Kania mulai menyibukkan dirinya dengan kegiatan lain, hal-hal baru, teman-teman lain.
Sedikit demi sedikit, perlahan namun pasti, tanpa ia sadari telah terbentuk suatu jarak yang tak terlihat antara dirinya dan kedua sahabatnya.

"You were my friend and it just happened
Time when by and we just lost traction
You were my friend, you were my friend
You got your buddies and I got mine
We’re different people we’re in different times
You were my friend, you were my friend

Yeah we moved on, but we’re not that far
We still say hello
But it’s not the same at all
It’s like we both let go
I guess that’s how it is
And I guess it’s good to know
He’s in a happy place"

Kania dan Retha masih berteman, namun tidak seakrab dulu.
Kania dan Galih pun masih berteman, meski hanya sebatas tegur sapa.

Namun entah kenapa, Kania merasa lebih baik begini.
Setidaknya ia tidak harus kehilangan kenangan—sesuatu yang sangat personal. Meski ia harus merelakan dua orang terdekatnya sebagai ganti.

“Kania!!!”
Kania hapal di luar kepala suara nyaring itu. Ia mencari asal suara tersebut, dan menemukan Retha di seberang lorong kampus, sedang melambai ke arahnya seraya tersenyum. Galih berada di sisinya, turut melempar senyum ke arahnya.

Kania balas melambai ke arah mereka.

“Mau ikut makan bareng nggak?!” tanya Retha.
Kania menggeleng. “Masih harus nyelesaiin laporan.” Kania balas berteriak dan melambai—secara halus mengusir mereka berdua.

They were my best friends. Kania membatin. Tapi aku harus bisa terbiasa bahwa kini mereka bukan lagi kedua sahabatnya yang dulu. Yang bisa ia miliki sepenuhnya, yang bisa ia jadikan tempat berbagi rahasia tanpa perlu mengkhawatirkan apapun, yang bisa ia andalkan sepenuhnya.

Setidaknya kedua sahabatnya itu bisa saling menjaga sekarang, dan kehadirannya tidak diperlukan lagi. Ia ingat dulu ia berpesan kepada Galih, untuk selalu menjaga Retha dan jangan pernah membuatnya menangis. 
Setidaknya Galih menepati janjinya pada Kania.

Kania tersenyum sedih mengenang sebuah kenangan yang ia bagi hanya pada Galih. Kenangan saat mereka berpisah. Kenangan saat ia meminta maaf karena tidak bisa membuatnya bahagia.

"We made some good memories
All I remember seeing is teeth
Hey you’re gone and that’s ok
Honestly it’s fine with me
That’s the way it’s supposed to be
As long as we keep saying cheese"

Kania tertawa kecil ketika lagu di player ponselnya menyenandungkan lagu itu.

Memang seharusnya begini bukan? Selama mereka bahagia dan ia juga bahagia, everything’s ok, right?!
Kania tersenyum simpul dan memasukkan setumpuk kertas laporannya ke dalam ransel merahnya. Tidak ada yang salah; hanya masalah waktu hingga ia bisa menemukan seseorang yang bisa ia percaya sebagai sahabatnya lagi.
Pasti ada. Pasti.

Kania memantapkan langkahnya dan berjalan pergi meninggalkan bangku kayu di tengah taman kampus.
Selamat tinggal kawan lama, selamat tinggal kenangan lama. Saatnya melangkah maju.

“You were my friend and it just happened
Time when by and we got distracted
You were my friend, you were my friend
You got your buddies and I got mine
We’re different people we’re in different times
You were my friend, you were my friend”

                                                     *** 

(courtesy songs "You Were My Friend" by David Choi)

Comments