Fragmen II: Melodi Kita
Jakarta. 2006.
“Frey… jawaban nomer dua dong!” bisik Kian pada Frey,
sahabatnya yang duduk di depannya.
“Gue juga nggak tau, Nyet.” balas Frey yang juga berbisik.
“Kalo nomer lima?”
“Itu mah lo pake rumus momentum aja, lo goblok banget sih,
Yan?” cibir Frey.
“Eh sialan, nggak usah ngatain dong?” Kian mencubit gemas
bahu Frey.
“Aduh aduh, sakit monyong….” kata Frey setengah membentak.
“FREY! KIANDRA! KALAU KALIAN MAU MENGOBROL, SILAKAN KELUAR
SAAT INI JUGA!” bentak Bu Diah, guru fisika mereka, seraya berkacak pinggang.
“KALIAN TAHU INI SEDANG UJIAN, MASIH SAJA KALIAN SEMPAT BERTENGKAR YA? LUAR
BIASA.”
“B-bukan saya Bu,” kilah Frey. “Ini Kiandra yang berisik
manggil-manggil saya.”
“Benar itu, Kiandra?” Bu Diah ganti melotot ke arah Kiandra,
membuat gadis berambut pendek sebahu itu salah tingkah.
“M-mau pinjam pulpen Bu…” jawab Kiandra, sebisa mungkin
terdengar normal.
“Lain kali bawa pulpen sendiri ya?!?” Bu Diah menyodorkan
sebuah pulpen hitam. “Untuk kali ini Ibu pinjamkan, kalian jangan berisik lagi.
Mengganggu konsentrasi murid lain.”
“I-iya Bu, terima kasih.” kata Kiandra seraya tersenyum
kecut. Frey sudah tidak mungkin dimintai bantuan dalam ulangan kali ini.
Harapan satu-satunya hanya Randy.
“Ndy, nomer dua dong…” bisik Kian dengan wajah memelas
kepada Randy yang duduk di samping kirinya.
Randy tidak bergeming. Kiandra mencoba memanggilnya sekali
lagi, namun seperti biasa, Randy pura-pura tidak mendengarnya. Salah Kian juga sih, harusnya ia paham benar bahwa
sahabatnya itu sangat alergi dengan mencontek.
Kian menggit bibir bawahnya dengan gemas. Sudahlah, mungkin
Kian harus pasrah dengan nilai ulangan fisikanya kali ini. Awas ya nanti, Frey dan Randy! Gara-gara kalian ngajak bikin lagu, gue
jadi nggak belajar semalam! Batin Kian gemas.
“Bisa Ki, ulangannya?” tanya Randy seraya menyodorkan
sebotol teh pada Kiandra yang sedang duduk cemberut di bangku taman.
“Tau ah, gue lagi males ngomong sama lo.” jawab Kiandra
sambil memalingkan muka. Tapi tetap saja ia meraih botol teh yang disodorkan
Randy.
“Kalau males ngomong sama gue, tehnya jangan diterima dong.”
kekeh Randy.
“Bawel ah. Harusnya lo seneng karena teh dari lo masih gue
terima.” timpal Kian, ia masih saja berusaha mempertahankan wajah cemberutnya.
“Makanya Neng, lain kali kalo disuruh belajar tuh ya
belajar.” kata Randy seraya mengucek rambut pendek sahabatnya itu.
“Ahh Randy!!” pekik Kian sambil merapikan rambutnya.
“Berantakan nih rambut gue… Kan kemarin lo sama Frey ngajakin bikin lagu sampe
tengah malem. Gara-gara siapa coba gue nggak belajar?”
“Kan sorenya gue udah nawarin diri untuk ngajarin lo sama
Frey. Salah siapa malah sibuk mainan sama gitar baru di rumah gue?”
“I-Itu kan Frey yang bikin gue malah mainan…” kilah Kiandra.
“Eh, lo kalo ujian nggak bisa jangan nyalahin gue dong.”
protes Frey yang tiba-tiba muncul di belakang Randy. “Kan lo yang ngerengek ke
gue nyuruh dengerin lo main gitar.”
“Kan gue mau pamer kalo gue juga bisa main gitar!” balas
Kiandra.
“Bisa main gitar? Kok kemarin masih sumbang ya?” ledek Frey.
“Lo jahat banget sih Frey? Randy bilang permainan gitar gue
udah lumayan kok…” Kian menjulurkan lidahnya.
“Ya itu biar lo seneng aja Ki, biar semangat belajar.”
timpal Randy, yang sukses bikin bibir Kiandra semakin maju dan tangannya
dilipat.
“RANDY JAHAAAATTT….”
“Hahahaha bagus Ndy, lo akhirnya mulai terbuka mata
batinnya.” Frey terkekeh dan saling high five dengan Randy. Mereka suka sekali
menggoda Kian. Cewek satu itu memang terlihat tomboy, tapi aslinya manja dan
cengeng abis. Lebih tepatnya Kiandra itu lugu, jadi sering jadi sasaran
kejahilan Frey dan Randy—kalau cowok alim ini lagi khilaf.
“Udah deh Kian, nggak usah cemberut mulu. Lo tuh udah jelek,
ntar makin jelek lagi.” kata Frey. Maksudnya sih menghibur, tapi Kian malah
makin ngamuk.
“Ngerasa ganteng lo, hah? Bete ah gue, bete. Kalian
sama-sama nggak belajar tapi bisa ngerjain ulangan fisika tadi!”
“Hah? Gue juga nggak bisa kali. Dari sepuluh soal gue cuma
ngisi 7 soal. Yang yakin bener pun Cuma tiga.”
“Hah?” Kian berhenti cemberut. “Seriusan lo?”
“Serius lo, Frey?” Randy juga ikut bertanya. “Lo bego ya?”
“Kampret lo, Ndy!” Frey mendorong pelan bahu Randy. Yang
didorong hanya tergelak.
“Yes gue menang, gue yakin bener empat.” kata Kian seraya
mengepalkan tangan ke atas dan tertawa sombong.
“Kita liat aja nanti siapa yang nilainya lebih tinggi.
Ardian Frey atau Kiandra Putri.” tantang Frey pada Kian. Kepalanya didongakkan
ke atas tinggi-tinggi, sehingga membuat tubuhnya yang memang sudah tinggi
terlihat semakin menjulang.
“Frey, Kian, kalian itu kok dudul sih?” komentar Randy
melihat Frey dan Kiandra yang beradu mulut dengan sengit. “Gue seperti melihat
anime dengan dua tokoh yang konyol.”
“Kapan sih Frey nggak konyol?”cibir Kian.
“Udah, udah. Makan yuk? Sebelum waktu istirahat kita abis
nih.” ajak Randy.
“Bayarin gue ya?” pinta Frey. “Gue bokek… abis beli stick
drum yang baru.”
“Stick drum atau drum stick?” ledek Kian.
“Stick buat ngegebuk elo ama drum gue, Neng Kian. Otak lo
isinya Cuma makanan ya?” timpal Frey.
“Udah cukup adu mulutnya. Kali ini gue bakal traktir kalian,
tapi janji ya besok belajar?”
“Belajar buat apaan, Ndy?” tanya Kian.
“Ulangan biologi dan ulangan kimia kan tinggal 10 hari
lagi.” kata Randy. “Bisa gawat kalau nasibnya sama seperti ulangan fisika hari
ini.”
Frey dan Kiandra berpandangan ngeri. Masih 10 hari lagi kan?
Masa harus belajar sekarang?
“Kalau kalian nggak mau ya nggak apa-apa sih, tapi gue nggak
jadi traktir dan kita batal ikut kontes.” kata Randy tenang.
“Ah, lo gila ya? Mana bisa kita batal ikut kontes? Udah dua
minggu kita nongkrong buat bikin lagu, terus masa mau tiba-tiba batal?” protes
Kiandra sewot. “Nggak bisa, gue nggak mau batal.”
“Ya makanya belajar. Lo lupa syarat yang dikasih orang tua
kita kalau kita masih pengen ngeband?”
Kiandra terdiam sejenak. “Oh iya ya, Ayah bilang nilai semua
mata pelajaran gue harus di atas 75. Waduh!”
“Nyokap bilang semester ini gue nggak boleh ada nilai yang
merah lagi.” Frey langsung manyun. “Ah sial! Ya udah lah belajar, lo ajarin
yang bener ya, Ndy!”
“Iya sip… Yuk makan.” Randy tersenyum senang dan merangkul
kedua sahabatnya itu.
***
“Ini dia si Frey!” teriak seorang siswa. Teriakannya cukup
keras untuk membuat Frey berhenti mengunyah pisang gorengnya, Kian tersedak es
jeruk yang kala itu sedang dihirupnya, dan Randy menoleh ke arah suara
tersebut. Seorang Randy tidak bisa diganggu gugat ketika makan, biasanya ia
akan berkonsentrasi penuh pada makanannya, kecuali ada sesuatu yang mengejutkan
seperti ini.
“Lo ngutang belum dibayar ya, Frey?” tuduh Kian.
“Sembarangan! Gue nggak pernah ngutang ke orang lain kecuali
kalian!” bantah Frey.
“Frey!” pekik sebuah suara centil. Dalam hitungan
sepersekian detik, tiba-tiba Frey merasa ada sepasang tangan yang merangkulnya
dari belakang. “Akhirnya gue ketemu juga sama lo!”
Frey refleks menoleh ke belakang. “Lo ngagetin gue aja sih,
Drey?”
“Hahaha sorry deh, Frey! Lo kemana aja? Kok akhir-akhir ini
nggak pernah nongkrong di café lagi sih?” kata Audrey sambil tersenyum genit.
Kiandra hanya bisa bengong sambil menyikut Randy. “Ndy, dia pake
make up lho,” bisik Kian. Randy tidak menjawab, ia sibuk menikmati mie ayamnya.
“Sorry, gue lagi miskin nih! Hahaha…” jawab
Frey sambil berusaha melepaskan diri dari rangkulan Audrey.
“Oh, gitu. Datang aja lagi, Randy
juga datang aja! Gue traktir deh!”
“Yang bener?” Mata Frey langsung
berbinar. “Ya udah, ntar sore deh!”
“Janji ya?”
“Iya. Lo ikut kan, Ndy?”
“Gue usahain. Toh hari ini gue
nggak ada les apa-apa.” jawab Randy begitu selesai menghabiskan mie ayamnya.
“Oke, gue tunggu lo berdua di
café ntar sore. Bye…” Audrey melambai dengan genitnya ke arah Frey dan Randy.
“Asyik, Nyet, ntar kita ditraktir
Audrey!!” ujar Frey sambil mengucek rambut pendek Kian.
“Aduuhhh… apaan sih, Frey!” Kian
melepaskan diri dari Frey dan merapikan rambutnya dengan tangan. “Gue nggak mau
ikut.”
“Lho, kenapa?”
Kian menatap Frey sebal, “Lo
nggak denger tadi Audrey bilang apa? ‘oke, gue tunggu lo BERDUA di café ntar
sore’. See? Gue nggak diundang!!”
“Alah, lo datang aja lagi! Nggak
mungkin mereka ngusir lo. Semua orang kan berhak datang ke café itu.”
“Nggak mau, biarpun gue berhak
masuk. Audrey pasti ntar ngeliatin gue dengan pandangan aneh. Ah, gue nggak
mau.”
“Ayolah Kian-ku yang tukang
mewek!! Ikut nggak lo?!” ancam Frey.
“Nggaaakkk!!! Gue masih punya
harga diri….”
Frey langsung memiting leher
Kian. “Ikut! Pokoknya ikut!!”
“Nggaakk!! Pokoknya nggak!!”
Kian—dengan sisa-sisa kekuatannya—menggelitiki pinggang Frey.
“Wakakakak…. Aduh, monyet ni
anak! Berani ngelawan gue ya?” Frey balas menggelitiki pinggang Kian.
“Hahaha…. Aduh, Frey, geli! Aduh,
sakit, gila!!”
“Udah, udah! Malu tahu dilihatin
sama senior-senior….” Lerai Randy.
“Gue nggak peduli. Nih anak butuh
dikerasin baru nurut!!” kata Frey sambil terus menggelitiki Kian, diselingi
cubitan-cubitan.
“ADuh!! Frey gila!! Sakit tahu!!”
Kian langsung menyikut Frey keras-keras di bagian perut.
Bruk!
Mereka berdua jatuh dari bangku
kantin dengan posisi saling menindih.
“Aduh…” rintih Kian.
“Makanya, lo nurut aja sama gue.
Kan nggak perlu sampai begini!” kata Frey seraya bangkit.
“Bantuin dong!!” pinta Kian yang
masih tergeletak.
Tapi, Frey bukannya menarik
lengan Kian yang terulur, dia malah bengong. Randy juga bengong.
“Kok malah bengong! Bantuin
gue!!”
“Kian, celana dalamnya keliatan,”
celetuk seorang kakak kelas cewek yang ada di belakang Frey.
“Haaahh?!” Buru-buru Kian bangkit
dan menutupi roknya. “Dasar cowok mesum!! Bukannya ngasih tahu dari tadi!!”
Kian buru-buru pergi dari kantin.
Lari ke kelas.
Malu!! Gue malu banget!! Gue udah nggak punya muka untuk ketemu siapa
pun!!
***
Comments
Post a Comment