Fragmen I: Kita Saat Ini
Ingatkah kau saat
dirimu
diriku, dirinya,
ada di suatu masa di
mana
kita bahagia tanpa
syarat
ingatkah dirimu bahwa
ada masa di mana
persahabatan kita tak
tergantikan
di mana ikatan kita
tak terkalahkan
bila kau ingat
kenangan itu, kawan
jangan pernah kau
lupakan lagi
(Ingatkah—kfr)
Paris. 2011.
“Madame, boleh saya duduk di sini?” tanya seorang pria
berusia sekitar 35 tahun kepada Nadine.
Gadis berambut panjang itu mengangguk dan tersenyum. “Oui.
Silakan.” katanya seraya menggeser sedikit posisi duduknya.
“Merci.” ucap pria itu.
“De rien. Sama-sama.” balas Nadine yang kemudian melanjutkan
lamunannya yang terputus tadi. Saat ini ia tengah berada di dalam bus menuju
rumahnya. Salju mulai turun sejak semalam dan kini salju sudah menutupi nyaris
seluruh permukaan jalan. Warna putihnya begitu pucat dan sendu, begitu sendu
hingga Nadine tak dapat menghentikan keinginan untuk melamun.
Ia rindu Jakarta.
Kota itu tak pernah terlihat sepucat ini. Kota itu selalu
penuh warna dan bising. Bising oleh berbagai suara—mulai dari teriakan
orang-orang yang mencari nafkah di pagi hari hingga suara klakson mobil yang
terjebak kemacetan khas Jakarta. Ia rindu teman-temannya saat SMA dulu, yang
selalu menggodanya karena ia tidak banyak bicara, yang terkadang mengajaknya
membolos pelajaran dan lari ke kantin. Ia rindu masakan neneknya di Indonesia,
Ia rindu masakan kantin.
Ia rindu pada Kiandra, Randy, dan… Frey.
Mungkin musim salju kali ini terlalu sendu bagi Nadine
sehingga satu per satu kenangan indah kembali terkenang dan seolah memberi
warna bagi salju putih.
***
Bogor, 2011.
“Kiandra, laporan lo udah?”
Gadis berambut pendek sebahu itu hanya memamerkan senyum
jahilnya saat salah satu temannya bertanya.
“Maksud lo apa nyengir kaya gitu?” Lea, teman baik Kiandra
di kampus, mengernyitkan alisnya yang tebal.
“Belom. Liat dong. Hehehe…” Kiandra menadahkan tangannya
tanpa dosa.
“Demi Tuhan, Kian, laporannya dikumpul 2 jam lagi!” pekik
Lea. “DAN LO BILANG LO BELUM BUAT?!?”
“Jangan berlebihan deh, gue bukannya belum bikin sama
sekali. Cuma kurang pembahasan sedikit dan daftar pustaka.” Kian mengerucutkan
bibirnya yang mungil. “Liat laporan lo dong Lea…”
Lea menatap Kian nanar, seolah tak percaya ada mahasiswa
kedokteran hewan tingkat akhir yang berlaku seperti temannya, Kiandra, ini.
“Lea, gue nangis nih.” ancam Kian.
“Nangis aja. Emang gue peduli?” cibir Lea.
“Lea jahat…” Kian merengut. Lea jadi tidak tega melihat
sahabatnya seperti itu. Akhirnya ia pun melempar setumpuk kertas yang tersusun
rapi dalam map miliknya.
“Jangan lecek ya! Nanti kalau udah langsung lo kumpulin
aja.” kata Lea. “Nggak tega gue ngeliat muka lo melas kaya gitu.”
“Hehehehe…. trik ini selalu berhasil sejak gue SMA tau.”
kata Kian terkekeh.
“Oh, jadi lo cuma bohongan?” Lea siap-siap menarik
laporannya yang tengah disalin oleh Kian.
“Ehhh… jangan!!” Kian menahan laporan milik Lea dengan kedua
tangannya. “Beneran kok gue belum kelar. Ngapain gue bohongin teman gue
sendiri, Lea?!”
“Trus maksud lo trik itu apa?”
“Nggg….” Kian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Yaa… dari SMA kalau gue ngambek suka pasang tampang kaya gitu, biar diturutin
kemauannya sama temen-temen gue. hehehehe…”
“Dasar anak manja.” Lea menyentil pelan dahi Kian. “Lo nggak
boleh gini terus lho, nanti kalau praktek jadi dokter hewan gimana?”
“Gue minta tolong sama lo. Hehehe…” Kian terkekeh sambil
menyalin laporan milik Lea. Sesekali dahinya berkerut karena berusaha menulis
ulang inti laporan Lea dengan gaya bahasanya sendiri. “Becanda sih, gue pun
sebisa mungkin nggak mengandalkan orang kok, Le.”
“Terus ini apa dong?”
“Gue Cuma kadang mengandalkan lo, karena gue percaya sama
lo. Karena udah nggak ada lagi sahabat lain yang bisa gue andalkan saat ini.
Sahabat-sahabat gue waktu SMA, semua lagi pergi jauh. dan gue udah janji ke
mereka, kalau gue bakal jadi dokter hewan yang hebat.”
Tanpa sadar Kiandra tersenyum saat mengenang janjinya pada
Randy dan Frey. Perpisahan mereka tiga tahun yang lalu sejenak terlintas di
benak Kian. Hari kelulusan mereka saat itu begitu manis namun juga pahit di
waktu yang sama.
Lea berdecak melihat sahabatnya yang tersenyum-senyum
sendiri dan melupakan laporannya. “Kalau lo mau jadi dokter hewan yang hebat,
laporannya jangan nyontek ya!” kata Lea sambil memasukkan laporannya ke dalam
tas dan tersenyum penuh kemenangan.
“Yah…”
***
Jogja. 2011
Jam yang terus berdetak di dinding kamarnya kini menunjukkan
pukul 1 dini hari. Randy melepas kacamatanya dan mengucek pelan matanya yang
letih. Rasanya sudah cukup ia belajar untuk ujian minggu depan. Kini saatnya ia
tidur dan melepas lelah, apalagi besok ada kuliah pagi.
“Cuci muka terus tidur ah…” gumam Randy seraya mengambil
handuk birunya yang tersampir di kursi.
Pluk.
Tanpa sengaja handuk itu mengenai sebuah frame foto yang
terletak di atas meja belajarnya dan membuatnya goyah. Randy dengan sigap
menangkap frame tersebut sebelum benda tersebut jatuh menghantam lantai dan
hancur berkeping-keping.
“Nyaris saja…” gumam Randy seraya memindahkan letak frame
tersebut ke atas rak buku.
Randy tersenyum sendu menatap foto di dalam frame tersebut.
Dalam foto tersebut tampak sosok dirinya lima tahun yang lalu bersama dengan
Frey dan Kiandra. Saat itu ia belum mengenal Nadine, sesuatu yang sedikit
disesalinya hingga saat ini.
Tak terasa sudah tiga tahun lamanya ia tidak bertemu dengan
sahabat-sahabatnya itu. Tiga tahun pula ia tak berjumpa dengan Nadine, pujaan
hatinya. Ia mungkin telah ditolak, tapi jujur hingga saat ini ia tidak bisa
melupakan dara berambut hitam legam itu. Dara manis yang kini tengah menuntut
ilmu di Paris, sahabat yang telah banyak memberinya inspirasi dalam membuat
lagu.
Tiba-tiba ia merasa rindu. Dan ia yang paling tahu, rindu di
tengah malam adalah rindu yang paling menyiksa. Maka dengan segera ia meraih
ponselnya dan menekan sederet nomer yang telah ia hapal di luar kepala.
“Halo, Kiandra? Ini gue Randy….”
***
Rasanya semua tidak akan jadi begini, andai saja lima tahun
yang lalu Nadine tidak hadir ke dalam kehidupan mereka. Namun tanpa hadirnya
Nadine, rasanya mereka bertiga tidak akan mengenal sesuatu yang bernama cinta.
Takdir memang aneh.
***
A/N: Terinspirasi oleh karanganku saat SMP. Aku lupa judul aslinya, aku lupa nama asli karakter Nadine (seingatku sih memang Nadine--atau sejenis itu), tapi yang jelas aku nggak lupa sama karakter Randy, Frey, dan Kiandra. Hanya mungkin cara penceritaannya yang agak aku ubah, karena susah untuk menyamakan gaya tulisan 9 tahun yang lalu dengan saat ini. Cerita ini aku buat karena dulu aku sangat suka musik. Saat itu aku masih semangat belajar bermain gitar dan mencoba menciptakan lagu (walaupun buta nada). Cerita biasa, mungkin sudah umum. Namun aku ingin benar-benar menghidupkan karakter Frey, Kiandra, dan Randy. Sayang sekali kalau mereka harus tidur selamanya tanpa kelanjutan cerita hidup mereka. Haha.
Maka dari itu, mulai sekarang aku berusaha untuk melanjutkan cerita ini. :))
Comments
Post a Comment